Infomojokerto.id – Media sosial tengah diramaikan oleh kampanye digital bertagar #SaveRajaAmpat, yang mengangkat isu kerusakan lingkungan di kawasan Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel. Unggahan video dan foto yang dibagikan oleh warganet dan aktivis lingkungan menggambarkan rusaknya hutan yang dulunya hijau lebat, kini berubah menjadi hamparan tanah coklat akibat aktivitas tambang yang intensif.
Unggahan viral ini banyak dibagikan melalui Instagram Stories dan platform lainnya dengan narasi “Papua Bukan Tanah Kosong”, menyoroti pentingnya melindungi tanah adat dan ekosistem Papua dari eksploitasi berlebihan.
Salah satu organisasi lingkungan yang paling vokal dalam kampanye ini adalah Greenpeace Indonesia. Melalui akun resminya @greenpeaceid, Greenpeace mempublikasikan cuplikan kondisi kerusakan hutan dan menegaskan bahwa hilirisasi nikel, yang selama ini disebut sebagai solusi menuju energi bersih, justru meninggalkan jejak kehancuran dari Sulawesi hingga Maluku, dan kini mengancam Raja Ampat.
“The Last Paradise: Satu per satu keindahan alam Indonesia dirusak dan dihancurkan hanya demi kepentingan sesaat dan golongan oligarki serakah. Pemerintah harus bertanggung jawab atas kehancuran alam yang semakin hari semakin marak terjadi,” tulis Greenpeace dalam unggahannya, Senin (9/6/2025).
Dalam salah satu video yang beredar, tampak alat berat seperti ekskavator beroperasi di kawasan tambang yang diduga berada di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Batang Pele. Tampak pula aktivitas penambangan yang masif di tengah kepulauan yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia itu.
Menanggapi viralnya kampanye ini, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, membenarkan bahwa aktivitas tambang memang terjadi di sejumlah pulau di Raja Ampat. Ia mengapresiasi meningkatnya kepedulian masyarakat melalui tagar #SaveRajaAmpat, yang disebut telah mendorong berbagai lembaga pemerintah untuk mulai mengambil langkah.
“Perhatian publik sangat penting. Kini pemerintah, DPR, ESDM, dan bahkan Kementerian Pariwisata sudah mulai merespons. Ada tindakan penyegelan dan pernyataan sikap. Namun sayangnya, Kementerian Kehutanan belum menunjukkan respons apa pun, padahal sangat terkait dengan isu ini,” ujar Iqbal.
Kampanye ini menyoroti ironi kebijakan hilirisasi nikel yang mengatasnamakan energi bersih, tetapi justru meninggalkan kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan.
Dengan semakin banyaknya perhatian dari masyarakat dan tekanan publik, harapannya perlindungan terhadap Raja Ampat sebagai surga terakhir dunia tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan dalam kebijakan yang nyata dan berpihak pada keberlanjutan lingkungan.