Infomojokerto.id – Pemerintah Kabupaten Mojokerto menyalurkan hibah senilai Rp9,802 miliar kepada 65 lembaga keagamaan melalui program Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Tahun 2025. Bantuan itu diberikan secara simbolis oleh Bupati Mojokerto Muhammad Albarra (Gus Barra) dalam acara Sosialisasi dan Pembekalan Penerima Hibah yang digelar di Pendopo Rumah Dinas Wakil Bupati Mojokerto, Senin (6/10).
Dana hibah yang bersumber dari APBD Perubahan 2025 itu diperuntukkan bagi masjid, mushola, pondok pesantren, TPQ, madrasah diniyah, serta yayasan keagamaan. Secara rinci, penerima hibah terdiri atas 17 lembaga masjid, 19 mushola, 6 pondok pesantren, 11 TPQ, 4 lembaga madrasah diniyah, dan 8 yayasan keagamaan.
Meski kegiatan tersebut digelar dengan nuansa seremonial dan penuh apresiasi, publik menyoroti potensi kurangnya transparansi dan pengawasan dalam pengelolaan dana hibah, yang selama ini kerap menjadi celah terjadinya penyimpangan, baik dalam bentuk pemotongan, penggelembungan data penerima, maupun pertanggungjawaban administratif yang tidak lengkap.
Dalam sambutannya, Bupati Albarra menegaskan bahwa setiap lembaga penerima hibah wajib menggunakan dana sesuai peruntukan dan menjaga akuntabilitasnya.
“Jangan sampai terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana hibah, apalagi ini untuk kepentingan ibadah. Harus tertib dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban,” tegasnya.
Gus Barra bahkan memperingatkan agar masyarakat waspada terhadap oknum yang mengatasnamakan pemerintah daerah untuk meminta potongan dana hibah.
“Kalau ada yang mengaku dekat dengan saya atau pejabat Pemkab lalu minta potongan, abaikan saja. Saya tidak pernah memerintahkan hal itu,” ujarnya tegas di hadapan peserta.
Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah daerah di Jawa Timur sempat tersandung kasus hukum terkait penyalahgunaan dana hibah keagamaan, mulai dari proyek fiktif hingga laporan pertanggungjawaban yang dimanipulasi. Karena itu, kehadiran narasumber dari Kejaksaan Negeri Mojokerto dan Inspektorat Daerah dalam kegiatan ini dinilai penting, meski efektivitas pengawasan di lapangan masih dipertanyakan.
Pengamat kebijakan publik, Eko Prasetyo, menilai hibah daerah untuk lembaga keagamaan kerap menjadi instrumen politik anggaran yang sulit diawasi secara ketat.
“Ketika hibah diberikan menjelang akhir tahun anggaran atau menjelang tahun politik, potensi penggunaannya menjadi tidak murni keagamaan sangat besar. Apalagi kalau data penerima tidak terbuka dan audit publik tidak dilakukan secara rutin,” ujarnya.
Hingga kini, Pemerintah Kabupaten Mojokerto belum mempublikasikan daftar lengkap penerima hibah beserta besaran bantuan di laman resmi pemerintah daerah. Kondisi ini memunculkan dorongan agar Pemkab menerapkan sistem transparansi berbasis digital, sehingga publik bisa ikut mengawasi penggunaan dana hibah yang nilainya mencapai miliaran rupiah tersebut.
Dengan total anggaran hampir Rp10 miliar, program hibah keagamaan diharapkan tidak hanya menjadi simbol dukungan terhadap pembangunan spiritual masyarakat, tetapi juga contoh tata kelola dana publik yang bersih dan terbuka. Tanpa itu, program ini berisiko menjadi sekadar formalitas tanpa dampak nyata bagi masyarakat penerima.